Pendidikan Dayah yang Terlindas Zaman
Oleh: Rani SalsabilaEfendi
Kata “Dayah”
bagi sebagian masyarakat terdengar asing, padahal dayah adalah salah satu titik bermulanya pendidikan di Aceh. Banyak
masyarakat yang melupakan pendidikan di dayah,
karena alasan dayah terkesan kolot
dan kuno. Era teknologi menjadikan dayah
sebagai salah satu tempat yang kuno sehingga bagi siapapun yang belajar di dayah dan tidak menempuh pendidikan
formaal akan dianggap tidak gaul. Padahal eksisitensi dayah telah ada sejak zaman kesultanan.
Pendidikan
di Aceh terutama dayah memiliki
sejarah yang sangat panjang. Pada awal mula masa kesultanan, rakyat Aceh tidak
mengenal sistem pendidikan formal, yang ada pada awal mula sejarah pendidikan
di Aceh adalah meunasah sebagai pusat pengajian untuk memperdalam ilmu
agama. Minat masyarakat Aceh terhadap pendidikan di meunasah ini cukup tinggi
mengingat dari zaman dahulu masyarakat Aceh sangat kuat dan teguh memegang
prinsip keagamaan. Perkembangan pendidikan dari meunasah menjadi rangkang (balai) yang diajarkan tetap
ilmu agama seperti ilmu tauhid, fikih, bahasa arab,dan tajwid.
Pada
setiap lembaga pendidikan di Aceh kala itu yang menjadi guru biasanya adalah teungku imum (Imam masjid) mengajarkan anak laki-laki di setiap desa
masing-masing sedangkan yang perempuan biasanya diajarkan oleh istri dari teungku imum. Begitu pula dengan
pendidikan dayah. Dayah adalah tingkat pendidikan tertinggi
kala itu, ilmu-ilmu yang diajarkan pada setiap murid juga lebih tinggi. Pada
pendidikan dayah setiap murid diwajibkan
untuk bisa berbahasa arab sehingga tak heran jika pada pendidikan di dayah mempelajari ilmu sharaf (asal usul
kata) dan nahwu (tata bahasa arab).
Ternyata
pendidikan dayah sangat diminati oleh
warga nusantara yang menganut agama Islam. Maka dari itu pendidikan dayah tersebar di berbagai wilayah nusantara
yang penduduknya menganut agama Islam. Hal ini menjadikan pendidikan dayah memiliki peranan penting dalam
penyebaran agama Islam di wilayah tanah air. Jauh sebelum Belanda menginjakkan
kaki di Aceh, Aceh adalah wilayah kerajaan yang menganut sistem tata
pemerintahaan Islam, hal ini juga memengaruhi sistem pendidikan di Aceh yaitu meunasah, rangkang, dan dayah.
Eksistensi
pendidikan dayah terus berkembang,
hal ini dibuktikan dengan adanya dayah
tinggi di daerah Cot kala. Dayah
tinggi cot kala merupakan pusat pendidikan tinggi Islam pertama se-Asia Tenggara. Peranannya tidak main-main,
dayah tinggi cot kala melahirkan
banyak alumni dan pendakwah Islam yang kemudian menyebarkan Islam keseluruh
kawasan nusantara, hingga ke selat Malaka. Hasil dari dakwah para alumni dayah tinggi cot kala menjadikan acuan
lahirnya kerajaan-kerajaan Islam di daerah. Banyaknya kerajaan pada masa itu
akhirnya melebur menjadi satu kerajaan pada abad ke-16 dengan nama Kerajaan Aceh
Darussalam.
Sultan
Ali Mughayatsyah dinobatkan menjadi sultan pertama Kerajaan Aceh Darussalam. Ia
memerintah dalam rentang waktu 916-936
Hijriah. Perguliran kekuasaan pada kerajaan Aceh Darussalam hingga pada masa
Sulthanah Ratu Safiatuddin. Terbentuklah qanun
meukuta alam yang berisi tentang ‘Ulama dan raja tidak boleh jauh atau
tercerai, sebab kalau ada jarak diantara mereka niscaya binasalah negara.’ Hal
ini menjadikan bahwa pemimpin harus memiliki dasar keilmuan yang mumpuni.
Kerajaan
Aceh Darussalam sangat mementingkan ilmu pengetahuan bagi setiap orang,
terlebih kepada pemimpin dan penguasa. Melihat begitu pedulinya para pemimpin
kerajaan Aceh Darussalam terhadap ilmu pengetahuan, maka tak heran jika banyak
para ulama–ulama dan ilmuwan serta pemimpin yang memiliki kualitas mumpuni, hal
ini menjadikan Aceh terkenal terutama pada masa Sultan Iskandar Muda. Banyak
para masyarakat luar Aceh berlayar mengarungi pulau dengan kapal untuk
bertandang dan belajar di Aceh.
Ketika pada saat itu Malaka
ditaklukkan oleh Portugis, ulama- ulama dan para mubaligh Islam dari Malaka
pindah ke Aceh. Bersama dengan para pendidik dari Aceh, mereka bekerja sama
untuk menyiarkan agama Islam dan mendidik calon ulama yang bersekolah di dayah-dayah. Pendidikan karakter Islam di Aceh terutama melalui dayah-dayah saat ini banyak
dilupakan oleh masyarakat abad ke-21, pendidikan dayah padahal memiliki peranan penting dalam penyebaran agam Islam
terutama di Aceh yang memiliki julukan Serambi Mekkah ini.
Melihat pendidikan saat ini,
sebenarnya proses belajarnya tak jauh beda dengan pendidikan di masa dahulu
yang menganut sistem pendidikan agama Islam. Jika saat ini pendidikan dimulai
dari jenjang SD (Sekolah Dasar) – SMP (Sekolah Menengah Pertama) – SMA ( Sekolah
Menengah Atas), pendidikan zaman dahulu
juga memiliki jenjang yaitu Meunasah- Rangkang-
Dayah.
Tingkatan
pendidikan di Aceh masa lampau:
1. Meunasah, yaitu sekolah awal atau permulaan. Ilmu yang diajarkan
pada tingkatan meunasah adalah ilmu dasar seperti membaca huruf arab, menulis
huruf arab, rukun Islam, rukun iman, dan hal-hal yang mendasar yang wajib
diketahui oleh seluruh umat Islam.
2. Rangkang,
yaitu balai-balai yang ada dekat dengaan masjid dan berasrama. Pada pendidikan
rangkang setiap murid daiajarkan untuk memahami ilmu tauhid, fikih, tasawuf,
sejarah Islam/umum. Pada tingkat pendidikan rangkang setiap murid diajarkan
membaca kitab dalam bahasa melayu dan arab.
3. Dayah,
tingkat pendidikan di Aceh yang biasanya
terdapat di tiap-tiap daerah, dayah
juga dapat berpusat di masjid. Dayah
juga dapat digabungkan dengan rangkang yang menganut sistem asrama atau
menginap di tempat belajar. Dayah
juga mengajarkan para muridnya untuk salat berjamaah sesuai yang diajarkan oleh Alquran, hadits dan kitab. Dayah juga tidak hanya mengajarkan ilmu
agama sering perkembangan juga mengajarkan ilmu pertanian, perniagaan (
ekonomi), hukum dan lainnya.
Selain
dayah, tingkatan dayah yang lebih tinggi disebut dayah
manyang (dayah teungku chik) yakni satu tingkat diatas dayah. Penyebaran dayah
manyang tidak sesemarak dayah pada
umumnya.
Zaman
Belanda
Ketika
Belanda menyatakan perang terhadap kerajaan Aceh pada hari Rabu tanggal 26
Maret 1873. Ketika Belanda dengan serdadu dan penguasanya menduduki Aceh pada
abad ke-20, Belanda dengan semena-mena terhadap Aceh hingga pendidikan dayah pun tidak dilanjutkan. Belanda
menerapkan pendidikan dengan cara dan sistem sekolah. Pengembangan sekolah di Indonesia
dimulai pada abad ke-19. Pada tahapan pertama Belanda mendirikan sekolah dasar
tiga tahun pada tahun 1892. Kemudian Belanda menyediakan pendidikan bagi
anak-anak pribumi Indonesia pada tahun1854. Perkembangan pendidikan terus
dilanjutkan Belanda, pada tahun 1867 didirikanlah departemen pendidikan, dan
pada tahun 1892 didirikan sekolah guru untuk mendidik guru- guru.
Sejak saat itu perkembangan
pendidikan dasar di Indonesia terus berkembang dengan sangat cepat. Belanda
terus sukses mengembangakan sistem pendidikan sekolah. Berkat keberhasilannya Belanda
semakin percaya diri dengan mengembangkan dua sistem sekolah lagi yaitu sekolah kelas I (eerste klasse)
untuk anak-anak konglomerat pribumi dan orang penguasa sedangkan sekolah kelas
II (tweede klasse) sistem pendidikan sistem dua ini untuk kalangan biasa dan
rakyat.
Eksistensi sekolah berusaha
mengalahkan ketenaran sistem pendidikan dayah
dikala itu, hal ini dibuktikan dengan Belanda yang terus mengembangkan sistem
pendidikan sekolah desa pada tahun 1907,
sekolah desa juga dikenal dengan Volkschool. Belanda yang semakin berkuasa di
nusantara memulai membangun sistem pendidikan sekolah yang lebih kompleks di Aceh.
Pada tingkat dasar seperti
volkschool (sekolah desa), indansche vervlogschool (sekolah pribumi lanjutan),
Meisjesschool (sekolah putri), Vervlogschool-met nederlansche school (sekolah
dasar Belanda untuk pribumi), europeesche lageree school (sekolah dasar untuk
anak-anak eropa), Hollandsche Chinese school (sekolah Belanda untuk china) dan
banyak jenis sekolah lainnya. Pada tingkatan menengah, Belanda yang semakin
berani mendirikan sekolah MULO di Koetaradja (sekarang Banda Aceh) MULO
merupakan satu-satunya sekolah menengah pada waktu itu.
Belanda memiliki pengaruh yang besar
dan semakin meluas, dalam bidang pemerintahan, pendidikan, dan lainnya. Sebelum
perang banyak para ulama yang memimpin pendidikan dengan ceramah-ceramah di dayah kini turun langsung ke medan
perang untuk berjihad ketika perang terjadi. Namun, juga ada yang terus
melanjutkan dan melaksanakan pendidikan di samping memimpin perjuangan dengan
senjata seperti Teungku Chik di Tiro.
Ulama yang menjadi tempat bertanya
dan tetap mengajarkan ilmu dengan sistem pendidikan dayah di daerahnya, di pedalaman Aceh seperti Teungku Chik tanoh
Abee (Teungku chik Abdul Wahab) di kawasan Aceh besar. Walaupun menempuh jalur
yang berbeda ulama-ulama tersebut tetap mendidik serta mengajar sehingga banyak melahirkan ulama Aceh yang berkualitas.
Berkuasanya Belanda di kota-kota,
mereka membuka tempat pendidikan berupa sekolah sedangkan ulama meneruskan
sistem pendidikannya dengan dayah-dayah di desa yang terpencil jauh dari
pusat keramaian. Dengan adanya dua sistem pendidikan di Aceh, yaitu pendidikan
asli dari rakyat Aceh yang berupa dayah
dan sistem pendidikan baru yang dibawa Belanda disebut sekolah.
Pendidikan dayah dan pendidikan sekolah sangat bertentangan dalam hal tujuan
dan prinsip. Pendidikan yang sudah berjalan
lama di Aceh adalah dayah yang
betujuan untuk meneruskan pendidikan bagi umat Islam dan mempertahankan
semanagat juang rakyat agar tidak lumpuh mental sehingga sulit dipengaruhi oleh
Belanda. Hal berbeda terlihat dengan sistem pendidikan sekolah yang bertujuan
untuk menundukkan rakyat Aceh dan mencerdasakan rakyat Aceh dengan tujuan
tertentu demi kepentingan Belanda. Dapat dikatakan bahwa tujuan Belanda menerapkan
sistem pendidikan sekolah untuk menarik perhatian rakyat, hal ini terlihat dari
Belanda yang mengutamakan pelajaran menyanyi
untuk memuji Belanda dengan dinyanyikannya lagu wihelmus.
Demi melancarkan niantnya untuk
memanfaatkan rakyat Aceh, Belanda mendatangkan guru dari luar Aceh untuk
mengajarkan murid-murid di sekolah yang didirikan Belanda. Seorang guru sudah
dihitung pintar jika ia sudah jago menghitung dan bernyanyi, mereka juga
dibberikan fasilitas yang memadai serta kehormatan dari Belanda. Untuk
orang-orang yang memiliki kasta konglomerat mereka diberikan pendidikaan khusus
yang dididik oleh orang Belanda langsung, tujuannya untuk membuat rakyat Aceh
mendukung pergerakan Belanda.
Belanda dengan segenap usahanya
mencoba untuk membubarkan pendidikan dayah.
Belanda mengetahui dengan pasti bahwa pendidikan dayah menanamkan rasa benci terhadap Belanda, karena Belanda
merupakan musuh Islam. Dengan hal tersebut para ulama mencoba memugar dayah untuk menjadikan dayah sebagai salah satu pendidikan yang
tidak kalah saing dengan Belanda. Snouck hugronje yang merupakan seorang
ilmuwan Belanda yang memepelajari seluk beluk rakyat Aceh, memberikan ide untuk
menjalankan politik asosiasi dengan kaum pribumi, politik yang mengedapkan
ikatan antara negeri jajahan dengan penjajahnya melalui kebudaayn.
Namun, rakyat Aceh yang kian pintar
tidak tergiur dengan politik asosiasi yang diterapkan Belanda ini. Hal ini
dikarenakan pendidikan dayah memiliki
daya tarik yang lebih besar dibandingkan pendidikan sekolah. Masyarakat Aceh
menganggap pendidikan sekolah adalah pendidikaan kafir yang ingin menghilangkan
agama rakyat Aceh. Paradigma masyarakat Aceh terhadap pendidikan yang didirikan oleh Belanda menjadikan
pendidikan dayah lebih populer kala
itu. Pendidikan dayah dianggap lebih
memiliki potensi yang besar terhadap kemajuan ilmu pengetahuan.
Ketika masa setelah kemerdekaan, pusat-pusat pendidikan dayah di Aceh banyak yang memiliki asrama atau dapat dikatakan
pondok. Pondok ini merupakan tempat tinggal bagi para guru dan murid yang
belajar di dayah. Lembaga pendidikan dayah ini pada umumnya memiliki
tingkatan sesuai dengn usia dan pengethuan dari murid. Posisi dominan yang dipegang oleh lembaga pendidikan dayah ini sebagian dikarenakan suksesnya lembaga dayah menghasilkan ulama-ulama yang
kompeten dan berkualitas tinggi dengan dijiwa oleh semangat keislaman di Aceh.
Penddidikan dayah memiliki tujuan yang mulia, karena tidak hanya memperkaya
pemikiran murid, namun juga untuk mendidik moral , melatih semangat ,
menghargai nilai-nilai spiritual, dan kemanusiaan. Pendidikan dayah juga tidak hanya untuk mengejar
kepentingan kekuasaan, kesenangan, uang,
dan lainnya. Pendidikan dayah
memiliki tujuan utama untuk mengedapankan pendidikan dan pengabdian kepada
Tuhan.
Seiring berkembangnya zaman, fungsi
pendidikan dayah tidaklah sepopuler
dulu, hal ini terlihat dari para generasi muda yang enggan belajar di dayah. Hal ini cukup menkhawatirkan
karena pengaruh globalisasi, eksistensi pendidikan dayah terlindas oleh zaman. Pendidikan dayah dianggap tidak modern, bagi siapapun yang belajar di dayah dianggap kuno dan kolot. Hal ini dapat
menjadi pemicu lunturnya semangat patriotisme dan nasionalisme dikalangan
generasi muda Aceh saat ini.
Perkembangan sistem pendidikan dayah di era globalisasi ini secara
bertahap mengalami pergeseraan. Melihat sistem pendidikan Indonesia saat ini
yang masih kalah saing dengan bangsa luar,
hal itu dapat diatasi dengan pendidikaan dayah yang mencetak generasi
tangguh dan berintegritass di masa yang
akan datang.
Get notifications from this blog
Halo! Terima kasih sudah membaca.