Memoar: Kekuatan Cinta
Pertama kalinya bertugas di ruang intensif anak, kerap disebut ruang Pediatric Intensive Care Unit (PICU), anak-anak yang memerlukan pengobatan dan perawatan khusus, guna mencegah dan mengobati terjadinya kegagalan organ-organ vital. Beragam diagnosis, di PICU tersedia empat bed dan saat kami sedang bertugas di PICU, keempatnya penuh, perlahan hari demi hari, ketiganya berpulang hanya seorang pasien remaja yang saat ini berada dalam pemantauan kami. Kami mendoakan dan menyebutnya pejantan tangguh.
“Ya Allah, sakittt, astaghfirullah, ya Allah, mama…”
Kuakui, pasien tersebut sangat menarik perhatianku. Dalam kesakitannya, dan kulitnya yang semakin melepuh, terucap kata-kata baik dan ilahiah. Sangat sabar dan cerdas. Meningococcemia, penyakit yang baru kuketahui namanya setelah bertemu dengannya. Betapa nyerinya, saat ia kesakitan, sangat mudah diajak untuk berjuang pulih bersama.
“Adik kelas berapa?”
“Kelas 1, pesantren,” jawabnya ramah.
“Awalnya sakitnya bagaimana?”
“Awalnya, merah-merah, muncul satu di kulit kemudian makin lama makin banyak…..” Remaja ini begitu kooperatif dan komunikatif, untuk mempelajarinya pun seolah sedang bercakap dengan adik sendiri. Rasa-rasanya, harapanku agar ia segera pulih. Saat kesakitan pun senyumnya begitu menenangkan, anak baik semoga Allah menyembuhkanmu.
Di kala jam kunjung, Ibunya mengunjunginya, mengelus kepalanya, mendoakan, dan menemani buah hatinya yang sedang diuji Allah dengan cobaan. Raut wajah kebaikan terpancar dari senyuman dan keramahannya. Hari-hari berlalu, aku sangat memahami berada di ruang intensif bagi pasien dengan kesadaran baik, terasa sangat membosankan. Hanya ada suara bip…bip..bip.., monitor, bed tak berpenghuni, dan paramedis yang bertugas.
Sesekali, saat sedang bertugas kuajaknya bicara lagi.
“Bosan nggak dek?”
“Bosan kali, Kak.” Bukan untuk mendalami penyakitnya, tetapi untuk menghibur dan lebih dekat dengannya. Aku jadi tahu ia senang bermain game online, gemar belajar, menyukai makanan manis, dan takut anjing galak. Senyum merekah mengembang di wajahnya, sayangnya pipinya tak mengembang karena penurunan berat badan. Menurutku berbincang dengannya cukup hangat, aku jadi tahu bahwa terkadang ada banyak hal yang tak dapat diprediksi tentang hidup ini. Termasuk dengan rasa sakit. Siapa sangka, remaja yang tak banyak berinteraksi dengan dunia luar, berfokus pada pendidikan dan agama tiba-tiba menjadi pasien intensif?
Hidup dan dinamikanya benar-benar tak tertebak.
Setiap hari kami terus memantau perkembangan satu-satunya pasien di intensif, pejantan tangguh yang kuat. Hari, demi hari ia tampak lebih bugar dari biasanya. Hingga kabar bahagia, ia akan dipindah ke bangsal. Artinya ia perbaikan dan stabil!
“Nanti kita ketemu di ruangan ya,” ucapku saat menghampirinya.
Ibunya tersenyum dan terharu, “Semoga cepat bisa membaik dan pulang juga ya.”
Beberapa kali di luar, kerap kumelihat sang ibu yang menunggu buah hatinya. Harap-harap cemas, tetapi cukup tegar untuk suatu ujian. Pernah pula saat sedang bertugas jaga, tak sengaja berpapasan dengan sang ibu saat hendak bersujud padaNya. Dinding ratapan asa, masjid rumah sakit menjadi tempat penuh dengan doa-doa dan harapan. Beragam doa dilangitkan, meminta kebaikan dan kemurahan dari sang pencipta untuk orang-orang terkasih. Katanya, dinding rumah sakit menyaksikan derita dan harapan. Dinding-dinding yang mengeja cerita perjuangan, sejuta harapan terpatri dalam setiap catatan. Ia menyembunyikan rahasia dan doa, menemani kita dalam perih, mengingatkan bahwa di antara duka dan kebahagiaan,
“Assalamualaikum adik ganteng! Sudah semakin bagus ya. Ini bekasnya pun semakin memudar, adik hebat! Katanya sudah persiapan pulang ya?” Aku tersenyum dan melihat sekeliling, mataku tertuju pada binar mata kebahagiaan keluarga ini.
“Iya, alhamdulillah sudah hampir satu bulan juga kami di sini, sudah perbaikan dan nanti kontrol di Poli Anak,” jawab ibunya berbinar.
Alhamdulillah, kami pun berbincang bercerita bagaimana awal rintihan pantauan intensif hingga kebahagiaan kembali ke kampung halaman, akan segera.
Ternyata begini ya rasanya melihat dan merasakan kebahagiaan pasien yang pulih, nurani dipenuhi kupu-kupu, dan raga dihiasi oleh cinta.
Layaknya bunga yang kembali mekar setelah musim dingin yang panjang. Nyala sinar terang menembus awan kelabu, membawa kesegaran dan harapan setelah badai dahsyat berlalu.
“Hati-hati di jalan! Jangan lupa kontrol ke poli ya”
Ia pulang, dengan senyuman.
Darinya, aku belajar, tak ada yang tahu nasib manusia. Dinamika hidup adalah teka-teki yang tak pernah terungkap, selalu berubah dan penuh misteri. Ada yang hari ini sehat besok tiada, hari ini tampak sedang meregang nyawa ternyata esoknya sudah tertawa, yang tampak tak ada harapan ternyata diberi kekuatan dan kesembuhan. Hidup dan dinamika, kita mungkin tak bisa mengendalikan semua perubahan, tapi kita bisa belajar berdansa dengan arusnya. Belajar menerima bahwa tak ada yang sia-sia.
Ada keajaiban penyembuhan dan kasih sayang tanpa batas,
dan ada kekuatan dari melangitkan doa-doa.