Bu...Pa
Bu..Pa
Gadis kecil itu duduk termenung
termanggu-manggu terkantuk-kantuk sambil berbatuk-batuk ria di sudut itu.
Mendekap kedua kakinya dengan mata terlelap lalu terjaga. Sesekali ia
membuka-buka halaman belakang dari sebuah buku lusuh yng ia temukan dalam
gundukan sampah.
“Andai saja” batinnya. Tak terlihat seorang pun berada di
dekatnya. Orang-orang sibuk berlalu lalang sambil berbicara sendiri dengan
telepon genggamnya.
Mereka selalu menunduk. Namun gadis kecil itu seolah bayangan
semu, tak tampak dan tak diperhatikan.
Suara gadis
kecil itu tak terdengar oleh mereka, padahal ia sudah berteriak dan menjerit memanggil
orang-orang yang berlalu lalang. Meminta tolong. Tatapan sinis dan tajam tertuju
padanya, dengan mata iba ia kembali menatap, namun dibalas dengan cacian dan
makian. Lalu ia diludahi.
“Manusia tak berguna,” seorang pria buncit dengan kacamata
hitamnya lengkap dengan pakaian kecoklatan dan dasi serta dua babu-nya yang
setia ikut mencaci gadis kecil itu. Lalu, berlalu tanpa bantuan, hanya hinaan,
ya hinaan.
Kemudian wanita
paruh baya dengan sepatu yang bak ujung garpu dengan pakaian yang membungkus
badannya, alamak terlihat dengan jelas bentuk tubuhnya yang berselulit. Bibir
merah, alis yang menjulang serta konde yang bak punuk unta menjadi dandanannya,
lambang kekinian.
“Duh, baunya,” kata wanita itu.
Gadis kecil itu tak pernah membalas apa yang dikatakan orang
padanya. Seandainya saja bisa pasti ia lakukan. Tapi bukan membalas caciannya,
namun dengaan ilmu pengetahuan.
Namun mustahil
bagi gadis kumuh lusuh itu untuk membalas cacian yang ditujukan kepadanya, ia
tahu diri, ia tahu diri. Ia tahu ia bisu.
Entah berapa kali ia sudah dibawa oleh pamong praja, tapi
tetap saja ia akan kembali ke tempat ia biasanya. Tak ada yang tahu pasti,
siapa dan bagaimana gadis kecil itu serta asal usulnya. Banyak rumor tentang
gadis itu, ia sebenarnya anak orang terpandang di kota ini, bapaknya seorang
pria kantoran petinggi yang beseragam serta berdasi dan ibunya seorang artis
ibukota.
Gadis itu hanya
bisa mengucapkan satu kata “Bu..Pa” ia bisu
memang, tapi ketika ia ingin mengucapkan kata hanya itu yang terdengar namun
itu pun parau.
Gadis itu sudah berada di tempat itu sejak satu tahun lalu,
ketika ia dibawa oleh dua orang berseragam serba hitam dan kacamata juga hitam.
Mereka mengajak gadis itu untuk menemui ibunya di ibukota. Ibunya kerap kali
muncul di layar televisi, yang kian hari kian menipis, mungkin suatu saat tak
menggunakan layar lagi.
Ibunya tak dapat dibilang muda, usianya sudah berkepala empat.
Namun karena ibunya seorang artis ibukota, kian hari kian mempermuda diri.
Kesana kemari tak lagi ingat usia, sibuk berdandan mempercantik diri walau
mahkotanya sudah tak hitam lagi. Salju putih yang diselimuti warna api kini
jadi jargonnya sebagai selebriti.
Pernah terdengar kabar, di saluran
televisi swasta yang biasanya menyiarkan
info-info gosip tentang ibunya yang seorang artis itu, tewas di sebuah klub
malam setelah menenggak benda haram. Lalu beredar kabar lagi bahwa ibunya
dibunuh dengan cara diracuni oleh mantan suaminya. Tak ada yang tahu pasti
bagaimana proses tewasnya ibu sang gadis, tragis.
Gadis itu kian hari kian dewasa.
Kini tak dapat disebut gadis kecil lagi, ia sudah menjadi gadis yang dapat menjadi
seorang pemilih pada ajang yang diadakan 5 tahun sekali.
Terlihat dengan jelas, pakaian kumalnya yang sudah kekecilan,
kini ia memiliki dua pakaian baru yang dibagikan gratis oleh wajah-wajah asing
yang terpampang di spanduk serta baliho-baliho sambil tersenyum paksa.
Tapi ia ingat
betul salah seorang yang terpampang di baliho yang cukup besar itu, dengan
senyum memaksa dan kata-kata manis yang tertulis dibawah figuranya. Pria
berdasi itulah yang menghinanya beberapa tahun lalu, kini ia mengumbar janji
manis dengan senyum yang dibuat-buat.
Pernah suatu kali pria buncit yang dahulu pernah mencacinya
datang kembali ke tempat gadis itu.
“Ini, ada
sedikit untuk kamu. Berapa usiamu sekarang?” tanya pria buncit itu. Ia tak
datang sendiri namun dengan beberapa orang asing lengkap dengan kameranya
merekam aksi pria buncit berdasi itu.
Senyumnya palsu dan
memaksa, ia menyerahkan bingkisan yang terpampang figuranya itu.
Gadis kecil itu
tak sebodoh yang dikira, berkat ia suka membaca buku-buku dari gundukan sampah
dan koran-koran bekas alas tidurnya, ia cukup pintar walau tak dapat berucap
kata.
“Bu.. Pa”
katanya sambil mengambil bingkisan yang terpampang figura fotonya.
“Anak pintar,”
kata pria buncit itu hendak mengelus kepala gadis kecil itu. Mencari perhatian.
Dengan cepat bingkisan itu ia ludahi dan ia lempar tepat ke
arah wajah pria tadi.
Raut wajahnya yang awalnya senyum memaksa kini menampakkan
tabiat aslinya, mukanya merah padam, urat lehernya kian membengkak tangan kanannya
menggepal seolah mengajak gadis itu berperang.
Jelas sekali
aksi gadis itu terliput oleh orang-orang asing tadi, wajah mereka tersenyum dan
tertawa. Seolah menyetujui apa yang dilakukan gadis tadi.
“Sial, kau
benar-benar tak berguna,” umpat pria itu.
Namun keberuntungan berada di pihak gadis itu ia berlari
sekuat tenaga, sambil berteriak “Bu..pa” ia terus berlari.
Aksinya lagi-lagi kembali terliput, seolah menjadi magnet bagi
pihak media.
Benar saja, siaran
langsung yang menampilkan aksinya itu kini membanjiri kota ini, ia mendadak
menjadi buah bibir masyarakat serta acara-acara biang gosip. Seluruh kota sibuk
dengan sosok gadis bisu kumuh itu.
Acara biang gosip
sibuk mengundangnya, tak lain untuk mencari rating. Tapi tak pernah ia setujui.
Ia tak mau terlibat media, ia muak atas bualan bohong yang sering ada.
Ia memang benar-benar tak mau terlibat media, ia berlari dan
terus berlari dari media yang sibuk mencarinya.
Pria buncit
dengan senyum terpaksa itu tak pernah terdengar lagi kabar tentang dirinya,
banyak yang berkata ia sudah masuk rumah sakit jiwa akibat kalah dalam
pemilihan.
Ada yang berkata ia bunuh diri karena tak sanggup menanggung
malu.
Gadis itu kembali ke tempat ia biasa duduk, namun terus saja
ia menjadi sorotan utama.
Dengan terpaksa Ia pun menyetujuinya, ia diundang sebuah acara
besar untuk menjadi pembicara.
Bagaimana bisa? Ia seorang yang bisu. Tak ada yang mustahil di
dunia ini.
Ia datang dengan penampilan yang berbeda kali ini. Lebih
berkelas tentunya.
Gadis itu duduk dan memutar-mutar rambutnya yang dibuat
sedemikian rupa oleh pihak media.
Ia ditanyai
beragam pertanyaan yang cukup kritis.
“Mengapa anda berani melakukan
hal tersebut?” tanya seorang wanita pembawa acara yang mengenakan rok pendek
dan sepatu berhak tinggi dengan rambut yang diatas bahu serta gincu yang merah
merona.
“Bu..Pa” jawab gadis itu.
Beragam pertanyaan terus diajukan dan ia terus menjawab “Bu
pa”
“Bu..Pa”
“Bu..Pa”
“Bu..pa”
Katanya terus sambil menunjuk figura pria yang telah
membuatnya menjadi sorotan media.
Namaku Rani Salsabila
Efendi, berseragam putih abu-abu . Lahir
dari keluarga yang manis dan hangat, senang merangkai aksara dan penggiat
literasi. Ingin mengenalku lebih jauh? Hubungi aku! Di email:
Ranisalsabila11@gmail.com
Get notifications from this blog
Halo! Terima kasih sudah membaca.